Konsep Pembiayaan Pendidikan Islam
Konsep Pembiayaan Pendidikan Islam
Irfan Afandi, S. Pd
A. Latar Belakang
Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam di negeri ini, adalah problem
pemerataan pendidikan serta pembiayaan pendidikan yang dikatakan belum maksimal
dalam realisasinya.[1]
Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya dan
pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada
upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan
bahwa tanpa biaya, proses pendidikan belum bisa berjalan secara maksimal.
Setidaknya sekolah atau madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan
menganut pada sila ke lima pancasila yang berbunyi” keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Dalam kandungan sila kelima tersebut mengindikasikan bahwa
pelaksanaan manajemen pembiayaan di dalam dunia pendidikan, hendaknya
dilaksanakan sebaik mungkin agar pendidikan dapat terlaksana dengan baik.[2]
Di dalam UUD 1945 alenia keempat, disebutkan adanya perkataan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” ini berarti bahwa setiap lapisan masyarakat berkewajiban
untuk turut serta melaksanakan pendidikan sebagai upaya mempertahankan
kedaulatan republik Indonesia.
Secara aplikatif, penyelenggaraan pendidikan membutuhkan biaya. Hal
ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah maupun madrasah dalam segala
aktivitasnya, memerlukan sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan,
pelaksanaan program, dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada. Semua
itu memerlukan anggaran dana.
Keterbatasan dana menuntut pengelola lembaga pendidikan untuk kreatif,
peka terhadap peluang, membangun relasi, serta mengelola dana yang ada dengan
baik.
Makalah ini akan mengupas model manajemen pembiayaan pendidikan
yang ideal dalam perspektif Islam. Tidak hanya berbicara konsep, penulis juga
memaparkan corak manajemen pembiayaan pendidikan Islam yang telah tercatat
dalam ruang sejarah pendidikan Islam.
B. Pengertian
Pembiayaan Pendidikan Islam
Biaya
menurut Usri dan Hammer adalah sebagai cost as an exchange, a forgoing, a
sacrifice made to secure benefit.[3]
Biaya
secara sederhana adalah sejumlah nilai uang yang dibelanjakan atau jasa
pelayanan yang diserahkan pada siswa.[4]
Biaya
adalah keseluruhan pengeluaran baik yang bersifat uang maupun bukan uang.[5]
Dari
beberapa pengertian biaya di atas dapat disimpulkan bahwa biaya adalah jumlah uang atau jasa yang disediakan (dialokasikan)
dan digunakan atau dibelanjakan untuk melaksanakan berbagai fungsi atau
kegiatan guna mencapai suatu tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditentukan.
Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan insrumental (instrumen
input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam setiap
upaya pencapaian pendidikan baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Hampir tidak ada upaya pendidikan
yang mengabaikan peranan biaya, sehinga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya,
proses pendidikan tidak akan berjalan.[6]
Apabila
dikontekskan dalam pendidikan, lembaga pendidikan sebagai lembaga non profit
yang bergerak di bidang jasa, maka faktor-faktor yang menjadi pemicu biaya di
antaranya jumlah jam mengajar guru, media pengajaran, buku teks yang digunakan,
fasilitas pendukung yang sifatnya temporer. Program-program pendidikan yang
ditawarkan oleh sekolah yang secara akumulatif dapat meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan lulusan serta dapat juga dijadikan sebagai pemicu biaya di dalam
pendidikan.
Dalam teori dan praktek pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro
maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan. Pertama, biaya
langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (Indirec cost).
Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang
penyelenggaraan pendidikan. Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak
secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi memungkinkan proses
pendidikan tersebut terjadi disekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan, dan harga kesempatan (opprotunity
cost).
Kedua, biaya pribadi (Private cost) dan
biaya sosial (social cost). Adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran
rumah tangga (household expenditure). Biaya social adalah
biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk pendidikan. Baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah
kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan. Biaya yang dikeluarkan
pendidikan pada dasarnya termasuk biaya sosial. Ketiga, biaya dalam bentuk
uang (monetary cost) dan bukan uang (non-Monetary cost).[7]
Pembiayaan
pendidikan pada dasarnya adalah menitikberatkan upaya pendistribusian benefit
pendidikan dan beban yang harus ditanggung masyarakat.[8]
Pembiayaan
pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai ongkos yang harus tersedia
dan diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan dalam rangka mencapai visi,
misi, tujuan, sasaran, dan strategisnya. Pembiayaan pendidikan tersebut
diperlukan untuk pengadaan gedung, infrastruktur dan peralatan belajar
mengajar, gaji guru, gaji karyawan dan sebagainya.[9]
Jadi
dapat diartikan bahwa pembiayaan pendidikan Islam adalah merupakan aktivitas
yang berkenaan dengan perolehan dana yang diterima dan bagaimana cara
penggunaan dana untuk kemaslahatan sekolah agar tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan
bisa berjalan dengan efektif dan efisien.
Pendapat penulis di atas diperkuat oleh Mujamil Qomar bahwa
pembiayaan pendidikan Islam adalah menggali dana secara kreatif dan maksimal,
menggunakan secara jujur dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif, dan
mempertanggungjawabkan dana secara objektif.[10]
Baharuddin dan Moh. Makin juga memberikan memberikan
pernyataan bahwa manajemen pembiayaan pendidikan Islam merupakan bagian dari kegiatan
pembiayaan pendidikan, yang secara keseluruhan menuntut kemampuan
sekolah/madrasah untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi serta
mempertanggungjawabkan secara efektif dan transparan.[11]
Satu hal yang perlu
disadari bersama bahwa pembiayaan pendidikan merupakan kunci sukses
penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya akan memiliki dampak terhadap
negara atau daerah otonom tertentu.
C. Konsep
Pembiayaan Dalam Islam Menurut Al-Qur’an, Hadist, dan Pendapat Ulama’
Konsep biaya dalam bahasa Inggris biasa
menggunakan cost, finansial, dan expenditur.[12]
Biaya merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Penentuan biaya akan
memengaruhi tingkat efisiensi dan efektifitas kegiatan di dalam suatu
organisasi.[13]
Tanpa adanya
biaya yang memadai maka sekolah/madrasah akan berkembang secara lambat. Jadi
Biaya menjadi hal yang urgen utamanya dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan progam pendidikan.
Dalam konsep
pembiayaan pendidikan ada tiga pernyataan yang terkait di dalamnya. Seperti
dikemukakan oleh Akadon dkk yaitu bagaimana uang diperoleh untuk membiayai
lembaga pendidikan, dari mana sumbernya, dan untuk apa dibelanjakan serta siapa
yang membelanjakan.[14]
Matin
mendefinisikan bahwa konsep biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik
yang berupa uang maupun bukan uang sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua
pihak yakni masyarakat, orangtua, dan pemerintah terhadap pembangunan
pendidikan agar tujuan serta cita-cita yang sudah ditentukan bisa tercapai
secara efektif dan efisien. Selanjutnya biaya pendidikan harus digali dari
berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif
sehingga dilaksanakan secara efektif dan efisien. Secara sederhana, biaya
pendidikan dapat divisualisasikan melalui gambar sebagai berikut:
Gambar. 2.1. Konsep Biaya Pendidikan
Sumber: Matin, 2014. [15]
Agar dapat
mengetahui lebih lanjut tentang pembiayaan pendidikan, berikut ini ditampilkan
tabel tentang istilah-istilah teknis yang perlu diketahui dalam konsep
pembiayaan pendidikan.
NO
|
Istilah
Konsep Pembiayaan
|
Keterangan
|
1
|
Objek Biaya
|
Objek biaya
adalah akumulasi biaya dari berbagai aktifitas. Terdapat empat jenis objek
biaya yaitu:
a. produk atau kelompok produk
yang saling berhubungan.
b. jasa
c. departemen
(teknis dan SDM)
d. proyek, misal proyek
penelitian, promosi pemasaran, atau usaha jasa komunitas.
Pendidikan
sebagai lembaga yang tidak berorientasi pada laba, maka objek biayanya adalah
jasa.
|
2
|
Informasi
Manajemen Biaya
|
a. adalah suatu konsep yang
mencakup segala informasi yang dibutuhkan dalam mengelola keuangan agar
berjalan secara efektif dan efisien.
b. fungsi informasi manajemen
biaya adalah untuk menentukan harga, mengubah produk atau jasa dalam rangka
meningkatkan profitabilitas, memperbarui fasilitas layanan pada saat yang
tepat dan menentukan metode layanan.
c. informasi manajemen biaya sangat
diperlukan sebab terkait dengan empat hal. Yakni 1). manajemen strategis, 2).
perencanaan dan pengambilan keputusan. 3). Pengendalian manajemen dan
operasional. 4). Penyusunan laporan keuangan.
|
3
|
Pembiayaan (financing)
|
Bagaimana
mencari dana atau sumber dana dan bagaimana menggunakannya
|
|
|
|
4
|
Keuangan (finance)
|
Seni untuk
mendapatkan alat pembayaran. Dalam dunia usaha keuangan meliputi
pemeliharaan kas yang memadai dalam
bentuk uang atau kredit disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
|
5
|
Anggaran (bugdet)
|
Alat
penjabaran suatu rencana ke dalam bentuk biaya untuk setiap komponen
kegiatan.
|
6
|
Biaya (cost)
|
Jumlah uang
yang disediakan atau dialokaskan dan digunakan atau dibelanjakan untuk
terlaksananya berbagai kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam rangka
proses manajemen.
|
7
|
Pemicu biaya
(cost driver)
|
Faktor yang
memberi dampak pada perubahan biaya total. Artinya jumlah total biaya sangat
dipengaruhi efek terhadap perubahan level biaya total dari objek biaya.
Sebagai
contoh dalam aktifitas pendidikan adalah faktor-faktor yang menjadi pemicu
biaya diantaranya jumlah jam mengajar guru, media pengajaran, buku teks yang
digunakan, dan sifat pendukung yang sifatnya temporer.
|
Tabel.
2.1. Istilah-istilah Konsep Biaya Pendidikan
Sumber:
Mulyono, 2010.[16]
Pembiayaan
pendidikan pada dasarnya menitikberatkan pada upaya pendistribusian benefit pendidikan
dan beban yang harus ditanggung masyarakat.[17]
Hal yang sangat
penting dalam pembiayaan pendidikan adalah berupa besar uang yang harus dibelanjakan,
dari mana sumber uang yang diperoleh dan kepada siapa uang harus dibelanjakan. Di
sisi lain, pembiayaan pendidikan adalah merupakan jumlah uang yang dihasilkan
dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup
gaji guru, peningkatan profesionalisme guru, pengadaan sarana ruang belajar,
perbaikan ruang, pengadaan peralatan, buku pelajaran, alat tulis kantor, pendukung
kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan, dan supervisi
pendidikan.
Selanjutnya
untuk mengatasi masalah pembiayaan pendidikan. Agar sekolah atau madrasah tetap
eksis dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah dalam mengelola pembiayaan
pendidikan perlu memperhatikan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan, pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan
pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.[18]
Dalam
pasal 49 ayat 1 dikemukakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah.[19]
Kemudian upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, perlu adanya
pengelolaan secara menyeluruh dan profesional terhadap sumberdaya yang ada
dalam lembaga Pendidikan Islam salah satu sumberdaya yang perlu dikelola dengan
baik adalah masalah keuangan.
Dalam konteks ini keuangan atau biaya adalah merupakan sumber dana yang
sangat diperlukan sekolah/madrasah sebagai alat untuk melengkapkan
berbagai sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah/madrasah, meningkatkan kesejahteraan guru, layanan, dan pelaksanaan program
supervisi.[20]
Konsep pembiayaan lembaga pendidikan Islam,
secara tersirat sudah ada sejak dahulu kala, Allah Swt berfirman dalam surat
Al-Baqarah ayat 197:
Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
(Al-Baqarah: 197).[21]
Bertolak dari ayat di atas, Allah Swt tidak serta merta memerintahkan kita
melakukan langkah manajemen modern. Allah Swt juga tidak secara implisit mengajarkan
kepada manusia tentang definisi manajemen pembiayaan pendidikan. Tetapi dengan
ayat di atas, Allah seakan-akan mengatakan bahwa umat manusia harusnya bisa
sukses. Untuk lebih menguatkan lagi, rasulullah Saw bersabda: “barang siapa
yang berbekal dalam dunia, maka hal itu akan memberikannya manfaat di akhirat
kelak”. (H. R. Jarir Ibnu Abdillah).
Secara lebih eksplisit lagi, konsep manajemen pembiayaan pendidikan adalah
perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa:
“Ingatlah bahwa kamu akan memperoleh ilmu kecuali
dengan memenuhi enam syarat ayang akan aku terangkan secara ringkas. (1).
Cerdas. (2). Rajin. (3). Sabar. (4). Mempunyai bekal. (5). Petunjuk guru. (6).
Waktu yang lama atau panjang”.[22]
Secara jelas, syair di atas mengungkapkan
betapa pentingnya arti kata biaya dan manajemennya dalam dunia pendidikan.
Biaya sangat menentukan terhadap terlaksananya kegiatan suatu lembaga atau
organisasi. Tanpa biaya suatu perencanaan progam sekolah/madrasah yang sudah
ditentukan maka kegiatan kegiatan tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.
D. Sejarah Pembiayaan Pendidikan dalam Peradaban
Islam
Dalam Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya
merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut
gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan
prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam
Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.[23]
Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat,
yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok
individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung.
Sementara itu, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara
bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma
sebagai hak rakyat atas negara.[24]
Lebih dari itu, setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak
sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh
anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ini menunjukkan perhatian pemimpin
Islam pada masalah pendidikan umat Islam.
Ijma’ sahabat juga telah menunjukkan kewajiban negara menjamin
pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para
guru, muadzin, dan imam sholatjama’ah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut
dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak
tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas
negara).[25]
Di dunia Islam, khususnya pada zaman klasik (abad ke-7
hingga 13 M), kesadaran untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk kegiatan
pendidikan sesungguhnya sudah pula terjadi. Namun berbeda motif dan tujuannya
dengan motif dan tujuan yang dilakukan negara-negara maju sebagaimana tersebut
di atas.
Di zaman klasik atau kejayaan Islam, motif dan tujuan
pengeluaran biaya pendidikan yang besar bukan untuk mencari keuntungan yang
bersifat material atau komersial, melainkan semata-mata untuk memajukan umat
manusia, dengan cara memajukan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradabannya.[26]
Salah satu contoh kecil perhatian pemerintah Islam dalam pendidikan
adalah ketika khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan: “barang siapa di
antara kalian yang secara rutin mengumandangkan adzan di wilayah kalian, maka
catatlah pemberian hadiah sebesar 1000 dinar. Siapapun yang menghafal
al-qur’an, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan
tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal
al-Qur’an, meriwayatkan hadist, mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas
pemberian 1000 dinar”.[27]
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan
pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun
berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan
prasarananya seperti perpustakaan.
Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “Diwan” (auditorium),
asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi
tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.[28]
Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah
dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus,
serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh
Khalifah Al-Mustanshir pada abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain
memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan
rumah sakit yang dokternya selalu siap di tempat.[29]
E.
Sejarah Pembiayaan Pendidikan Islam Nusantara pada Masa Kerajaan Islam
1. Manajemen Pembiayaan
Pendidikan Islam pada Masa Pra-Kemerdekaan.
Pendidikan
Islam telah mulai berlangsung di Indonesia sejak masuknya para pedagang muslim
ke negeri ini pada abad VII M. Mula-mula pendidikan agama hanya berlangsung
antara individu dengan individu lainnya. Materi yang diajarkan pun hanya
berkisar pada prasyarat seseorang menjadi muslim. Proses pendidikan Islam
kemudian berkembang ke arah kolektif ketika sudah memberi pengaruh yang
signifikan di masyarakat Indonesia.
Pengaruh
pendidikan agama yang dilaksanakan oleh para dai muslim menemukan hasilnya
ketika pada abad X berdiri kerajaan Islam pertama di Aceh yang bernama Pase
atau kerajaan samudra (kerajaan ini juga dikenal dengan samudera pasai). Di
kerajaan ini dilangsungkan pendidikan agama dengan menggunakan bahasa Arab
sebagai pengantarnya.
Hal ini
sesuai dengan laporan Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Batutah bahwa
ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja
mengadakan halaqah setelah shalat jumat sampai waktu asar. Dari keterangan itu
diduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan
tempat berkumpul ulama dari berbegai negara Islam untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.
Zuhairi
dkk. melihat bahwa pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di
Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem
pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:
a. Materi
pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab Syafi’i.
b. Sistem
pendidikannya secara nonformal berupa majlis taklim dan halaqah.
c. Tokoh
pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d. Biaya
pendidikan agama bersumber dari negara.[30]
Jadi,
pada masa kerajaan Islam Pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh
kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri. Bahkan, setelah berdirinya
Kerajaan Perlak pendidikan agama berkembang sangat baik. Sultan Mahdum Alaudin
Muhammad Amin, Raja keenam Perlak, mendirikan perguruan tinggi Islam yang
diperuntukkan bagi siswa yang telah alim. Dengan dukungan pendanaan dari
kerajaan, perguruan ini dapat mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang
berbobot pengetahuan tinggi seperti Kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i dan
sebagainya.[31]
Berawal
dari Aceh, Pendidikan Islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di Jawa,
misi ini diusung oleh Sunan Giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang pendidikan.
Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase yang
bermadzhab Syafi’i.
Pendidikan
Islam selanjutnya berkembang dari majlis taklim di kerajaan terus berkembang ke
surau-surau dan masjid. Di Sumatera Barat surau-surau berkembang menjadi tempat
pengajian untuk pemuda-pemuda muslim. Salah satunya surau besar yang mirip
konsep pesantren muncul di Batuhampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syaikh
Abdurrahman pada tahun 1777.[32]
Kompleks
ini kemudian dikenal sebagai “Kampung Dagang”. Kampung Dagang dibangun dengan
sarana dan fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di dalam kawasan yang
luasnya sekitar 3 hektare ini ada sebuah pasar kecil, di mana terdapat beberapa
kedai tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari. Jumlah orang siak (santri)
yang belajar di Kampung Dagang ini berkisar antara 1000 sampai 2000 orang.
Untuk
mengikuti pelajaran di surau santri tidak dikenakan pungutan atau pembayaran
apapun, tidak dikenakan uang sekolah, uang asrama atau uang makan. Jarang
sekali santri memberikan uang kepada syaikh. Kalaupun ada, di samping oleh
keluarga yang bersangkutan, diberikan atas dasar kerelaan dan keikhlasan.[33]
Biaya
hidup dari santri berasal dari orang kampung yang berdekatan dengan surau,
biasanya dijemput sendiri atau diantarkan oleh orang tua mereka. dalam
menunjang pemenuhan kebutuhan hidup santri, masyarakat kota yang berdekatan,
seperti payakumbuh, juga tidak kurang pula partisipasinya. Setiap hari minggu
mereka mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya ke surau dengan
pedati. Sedangkan santri yang datang dari negeri yang jauh, biasanya tiap hari
kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar Batuhampar dengan membawa buntil
(tempat beras seperti kantong terigu) dan sore harinya kembali dengan membawa
buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu.
2. Manajemen Pembiayaan
Pendidikan Islam pada Masa Pasca-Kemerdekaan.
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa sebagai lembaga pendidikan tertua di Jawa
pesantren telah berupaya memperbaharui sistem pendidikannya. Pada masa ini
telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi perubahan sistem
pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren
dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan
sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan
fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.[34]
Dengan
kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem
madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul
empat tipe pondok pesantren di Nusantara:
a. Ponpes
tipe A adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;
b. Ponpes
tipe B adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal
(madrasi);
c. Ponpes
tipe C adalah pondok yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar
di luar;
d. Ponpes
tipe D adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus sistem
sekolah dan madrasah.
Namun
dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari beberapa tipe
pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup pesantren,
tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha yang
dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak
memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.[35]
Hal ini
tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan kyai
secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap
lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang.
Hingga
muncul harapan baru dari beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas
alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah
dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun,
Pesantren Gontor dan lain-lain.
Sebagai
gambaran, akan diuraikan salah satu gagasan dari konsep pembiayaan berbasis
wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor. Meniru apa yang dilakukan oleh
pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin kelangsungan
lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren ini juga
berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf. Untuk itu, pesantren ini
memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958.
Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan Keluarga Pondok
Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai
nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan
menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.[36]
Badan
Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga
di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki
maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf
Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai
tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan
dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana
yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah
kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.
F.
Problem Pembiayaan Pendidikan Islam dan Solusinya.
Pada umumnya, masalah yang dihadapi madrasah, dalam hal ini sekolah
yang berbasiskan agama, adalah persoalan pembiayaan pendidikan. Apabila dilihat
dari aspek penyebabnya, hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama Dan
Keagamaan tahun 2006 tentang pembiayaan pendidikan di madrasah menyebutkan
bahwa kesulitan yang dihadapi madrasah dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan ternyata
berawal dari persoalan penggalian dana itu sendiri.
Kendala utamanya adalah karena terbatasnya sumber dana yang dapat
digali. Selama ini sumber dana utama operasional madarasah, rata-rata diperoleh
dari iuran SPP siswa. Sumber dana ini merupakan sumber dana tetap, meskipun
secara nominal sebenarnya jumlah dana yang dapat dikumpulkan tidak seberapa,
mengingat kebanyakan madrasah berada di pinggiran kota/pedesaan dan melayani pendidikan
bagi siswa yang berasal dari keluarga tingkat ekonomi kurang mampu; seperti
petani, buruh, dan pegawai rendah lainnya.[37]
Pendeknya, madrasah memperoleh pemasukan dari komponen SPP dalam
jumlah yang tidak besar karena madrasah sendiri harus menetapkan besaran biaya
SPP yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di mana ia berada.
Namun hal ini sudah mengalami perubahan seiring dengan kebijakan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada seluruh Sekolah Dasar dan Menengah.
Namun hal ini tetap saja tidak bisa menutup pembiayaan pendidikan yang
diperlukan.
Sumber dana lainnya adalah bantuan yang diberikan masyarakat berupa
zakat, infak, dan shadaqah (ZIS). Sumber dana ini terbilang tidak tetap. Selain
itu, jumlah dan keberadaannya tidak dapat dipastikan. Ini dapat dimengerti,
mengingat masalah pengelolaan zakat dan peruntukannya sendiri. Bantuan lain
yang bersifat insidental adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah. Sebagaimana halnya dengan ZIS, bantuan pemerintah dan
pemerintah daerah. seperti Dana Alokasi Khusus, Dana Imbal Swadaya, BOMM, BOP,
BKG, dan BKS, selain lebih bersifat insidental dan tidak menyeluruh, juga tidak
seluruh madrasah memperolehnya.[38]
Dalam hal ini, faktor kedekatan unsur penyelenggara madrasah dengan
pihak pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap kelancaran bantuan
tersebut. Adapun madrasah yang tidak memiliki akses kepada pihak-pihak tertentu
sangat sulit mendapatkannya.
Di sisi lain, persoalan SDM yang bisa dikatakan belum memadai, selain
keterbatasan pengetahuan mengenai sirkulasi dan pengaturan mengenai anggaran
dalam pembiayaan, merupakan suatu kekurangan yang menyebabkan tidak adanya
analisis yang panjang mengenai, bagaimana, mengapa, dan seperti apa pembiayaan itu
dilakukan.
Masalah lain yang biasanya muncul ialah daya dukung masyarakat
sekitar yang rendah. Padahal, hal ini sangat penting mengingat masyarakat
sebagai partisipan dan pendorong ke arah suksesi program lembaga pendidikan. Keberadaannya
sangat penting guna menunjang pembiayaan pendidikan. Kenapa hal ini terjadi?
Karena masyarakat tidak dilibatkan langsung dalam proses penganggaran, sehingga
tingkat perhatian mereka terhadap lembaga berhenti pada wilayah memasrahkan anak
didiknya saja.[39]
Selanjutnya untuk solusi Perbaikan Pengelolaan Pembiayaan
Pendidikan Islam adalah menelaah problem
yang cukup dilematis di atas, maka diperlukan langkah-langkah satrategis dalam
pemecahannya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, persolan pembiayaan adalah hal yang sangat sensitif keberadaannya.
Hal ini karena bisa membawa kemajuan lembaga jika dikelola dengan baik,
sebaliknya akan membawa lembaga menjadi terpuruk, apabila komponen/pihak di
lembaga tidak mengelola secara professional, tidak berprinsip pada keterbukaan,
tidak berorientasi pada perbaikan, kepentingan yang sifatnya personal untuk
membangun lembaga sehingga mencari peluang hanya untuk personal dirinya.
Oleh karena itu, seluruh komponen yang ada dalam lembaga pendidikan,
kaitannya dengan proses penyusunan pembiayaan pendidikan, harus dilibatkan. Hal
ini dilakukan sebagai wujud asas keterbukaan, kebersamaan, serta bertanggung
jawab atas amanah kelembagaan yang harus dipikul bersama. Baik dan buruknya
lembaga menjadi akuntabilitas bersama.
Kedua, terkait dengan penempatan alokasi dana, pihak di dalamnya
diupayakan mampu menyusun dan mengelola dengan baik, berapa anggaran yang ada,
bagaimana anggaran itu dibelanjakan atau dialokasikan, serta bagaimana sistem
pelaporannya. Apabila komponen di dalamnya ada yang kurang mengerti, perlu
dilakukan Diklat tentang bagaimana menyusun anggaran yang baik. Bisa dengan
pelatihan penyusunan anggaran atau hal lain yang sejenis.
Ketiga, kepala sekolah sebagai motor penggerak, diharapkan mempunyai
keterampilan entrepreneurship (keterampilan kewirausahaan) dan kemampuan
manajerial serta kesupervisian.
Keempat, madrasah hendaknya melibatkan masyarakat dalam pengangaran
pembiayaan pendidikan, melalui rapat rutin ataupun bisa diselipkan pada rapat
musyawarah kenaikan sekolah/kelulusan. Hal demikan dilakukan sebagai wujud asas
keterbukaan.
Kelima, lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah, sebagai
lembaga yang berbasiskan agama yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur,
diharapkan memegang teguh prinsip keadilan, prinsip amanah, kejujuran,
musyawarah, keterbukaan, kedisiplinan, dan sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut
harus dipegang teguh oleh seluruh elemen lembaga.
Dengan demikan, diharapkan ada solusi manajemen pembiayaan
pendidikan Islam, sehingga akan terbentuk suatu lembaga pendidikan Islam yang
baik, khususnya dalam persoalan pembiayaan pendidikannya.
G. Kesimpulan
pembiayaan
pendidikan Islam adalah merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan
dana yang diterima dan bagaimana cara penggunaan dana untuk kemaslahatan
sekolah agar tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan bisa berjalan dengan efektif
dan efisien.
Matin
mendefinisikan bahwa konsep biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik
yang berupa uang maupun bukan uang sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua
pihak yakni masyarakat, orangtua, dan pemerintah terhadap pembangunan
pendidikan agar tujuan serta cita-cita yang sudah ditentukan bisa tercapai
secara efektif dan efisien. Selanjutnya biaya pendidikan harus digali dari
berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif
sehingga dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Secara lebih eksplisit lagi, konsep manajemen pembiayaan pendidikan adalah
perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa:
“Ingatlah bahwa kamu akan memperoleh ilmu kecuali dengan memenuhi enam
syarat ayang akan aku terangkan secara ringkas. (1). Cerdas. (2). Rajin. (3).
Sabar. (4). Mempunyai bekal. (5). Petunjuk guru. (6). Waktu yang lama atau
panjang”.
Dalam Islam, sejarah
pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab
negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen,
maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya
menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam, pendidikan disediakan secara
gratis oleh negara.
Selanjutnya
sejarah pembiayaan pendidikan islam nusantara dapat kita lihat pada masa
kerajaan Islam Pasai, pendidikan agama dilangsungkan oleh kerajaan dan dibiayai
oleh kerajaan itu sendiri.
Problem
biaya pendidikan Islam kendala utamanya
adalah karena terbatasnya sumber dana yang dapat digali. Selama ini sumber dana
utama operasional madarasah, rata-rata diperoleh dari iuran SPP siswa.
menelaah
problem yang cukup dilematis di atas, maka diperlukan langkah-langkah
satrategis dalam pemecahannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Al-Maliki. 1963. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah
Al-Mutsla, Hizbut Tahrir .
Akadon,
Dedy Achmad Kurniady dan Deni Darmawan. 2015. Manajemen Pembiayaan
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Baharuddin
dan Moh. Makin.2010. Manajemen Pendidikan Islam, Malang: UIN MALIKI
PRESS.
Hasbullah.
2006. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
H Jhones, Thomas. 1985. Introduction to School Finance Technique
An Social Policy. New York: Macmillan Publishing Company.
Ibrahim Muhammad, Quthb. 2002. Kebijakan Ekonomi Umar bin
Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad
Syarifuddin Shaleh. Jakarta: Pustaka Azzam.
Matin.
2014. Manajemen Pembiayaan Pendidikan Konsep dan Aplikasnya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Mulyono.
2010 Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Nata, Abuddin.
2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Qomar,
Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan
Islam. Malang: Erlangga.
Sulistyorini. 2006. Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya:
elKAF.
Supriyadi, Dedi. 2006. Satuan Biaya Pendidikan
Dasar dan Menengah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Tampubolon,
Manahan. 2015. Perencanaan dan Keuangan pendidikan. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Al-Jawi, Shiddiq. 2007. Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam. Jurnal
House of Khilafah.
Munir,
Ahmad. Manajemen Pembiayaan dalam Perspektif Islam. Jurnal At-Ta’dib
Vol.8 No 2, 2013
Nunu,
Ahmad. Pembiayaan Pendidikan di Madrasah dan Peranan Pemerintah Daerah di
Era Otonomi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Bandung,
Volume 5 Nomer 2 April-Juni 2007.
http://staim.blogspot.co.id/2008/12/sejarah-pembiayaan-pendidikan-islam-di.html (Malang, 20 September 2017).
http://www.anekamakalah.com/2013/01/pembiayaan-pendidikan-islam-indonesia.html (Malang, 20 September 2017).
[1]
Ahmad Munir, Manajemen
Pembiayaan dalam Perspektif Islam (Jurnal At-Ta’dib Vol.8 No 2, 2013), 223.
[2]
Baharuddin dan
Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI PRESS,
2010), 125.
[3] Akadon, Dedy
Achmad Kurniady dan Deni Darmawan, Manajemen Pembiayaan Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2015), 5.
[4] Mulyono, Konsep
Pembiayaan Pendidikan, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010), 77.
[5] Matin, Manajemen
Pembiayaan Pendidikan Konsep dan Aplikasnya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), 7.
[6]
Dedi Supriyadi, Satuan
Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung:
P. Remaja Rosda Karya, 2006), 4.
[7] Dedi Supriyadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan
Menengah, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2006), 4.
[8] Mulyono, Konsep
Pembiayaan Pendidikan, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010), 77.
[10] Mujamil Qomar,
Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: Erlangga, 2007), 170.
[11] Baharuddin dan
Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI PRESS,
2010), 87.
[12]
Akadon, Dedy
Achmad Kurniady dan Deni Darmawan, Manajemen Pembiayaan Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2015), 5.
[13]
Mulyono, Konsep
Pembiayaan Pendidikan, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010), 81.
[14]
Akadon, Dedy
Achmad Kurniady dan Deni Darmawan, Manajemen Pembiayaan Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2015), 23.
[15]
Matin, Manajemen
Pembiayaan Pendidikan Konsep dan Aplikasnya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), 8.
[16] Mulyono, Konsep
Pembiayaan Pendidikan, (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2010), 79-81.
[17]
Thomas H Jhones, Introduction to School Finance Technique An Social Policy,
(New York: Macmillan Publishing Company, 1985), 12.
[18] Manahan
Tampubolon, Perencanaan dan Keuangan pendidikan, (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2015),189.
[19] Hasbullah, Otonomi
Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 26.
[20] Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: elKAF, 2006), 98.
[21] Al-Qur’anul
Karim
[22]
Baharuddin dan
Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI PRESS,
2010), 118.
[23]
Shiddiq Al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam, (Jurnal House of
Khilafah, 2007), 1.
[24] Al-Maliki
Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.t.
1963).
[25]
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah
Al-Maliyah Li ‘Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002).
[27] Baharuddin dan
Moh. Makin, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI PRESS,
2010), 137.
[28] Shiddiq
Al-Jawi, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam, (Jurnal House of Khilafah,
2007), 1.
[29] Ahmad Munir, Manajemen
Pembiayaan dalam Perspektif Islam (Jurnal At-Ta’dib Vol.8 No 2, 2013), 232.
[30] http://staim.blogspot.co.id/2008/12/sejarah-pembiayaan-pendidikan-islam-di.html (Malang, 20
September 2017)
[31] http://www.anekamakalah.com/2013/01/pembiayaan-pendidikan-islam-indonesia.html (Malang, 20
September 2017)
[32] http://staim.blogspot.co.id/2008/12/sejarah-pembiayaan-pendidikan-islam-di.html (Malang, 20
September 2017)
[33] http://www.anekamakalah.com/2013/01/pembiayaan-pendidikan-islam-indonesia.html (Malang, 20
September 2017)
[34]
http://staim.blogspot.co.id/2008/12/sejarah-pembiayaan-pendidikan-islam-di.html (Malang, 20
September 2017)
[35]
http://www.anekamakalah.com/2013/01/pembiayaan-pendidikan-islam-indonesia.html (Malang, 20
September 2017)
[36]
http://staim.blogspot.co.id/2008/12/sejarah-pembiayaan-pendidikan-islam-di.html (Malang, 20
September 2017)
[37]
Ahmad Munir, Manajemen
Pembiayaan dalam Perspektif Islam (Jurnal At-Ta’dib Vol.8 No 2, 2013), 234.
[38] Ahmad
Nunu, Pembiayaan Pendidikan di Madrasah dan Peranan Pemerintah Daerah di Era
Otonomi, (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Bandung, Volume
5 Nomer 2 April-Juni 2007).
[39]
Ahmad Munir, Manajemen
Pembiayaan dalam Perspektif Islam (Jurnal At-Ta’dib Vol.8 No 2, 2013), 235.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
BERITA BAIK!!!
BalasHapusNama saya Dian Pelangi dari Jakarta di Indonesia, saya seorang pereka fesyen dan saya ingin menggunakan medium ini untuk memberitahu semua orang supaya berhati-hati mendapatkan pinjaman di internet, begitu banyak pemberi pinjaman di sini adalah penipuan dan mereka berada di sini. menipu anda dengan wang susah payah anda, saya memohon pinjaman kira-kira Rp900,000,000 wanita di Malaysia dan saya kehilangan kira-kira 29 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 29 juta lagi saya tidak mendapat pinjaman dan perniagaan saya Mengenai terhempas kerana hutang.
Memandangkan pencarian saya untuk syarikat pinjaman peribadi yang boleh dipercayai, saya melihat iklan dalam talian lain dan nama syarikat adalah SYARIKAT PINJAMAN DUNIA. Saya kehilangan 15 juta dengan mereka dan hingga hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman yang saya cadangkan.
Tuhan menjadi kemuliaan, kawan-kawan saya yang memohon pinjaman juga menerima pinjaman sedemikian, memperkenalkan saya kepada sebuah syarikat yang boleh dipercayai di mana Puan Christabel bekerja sebagai pengurus cawangan, dan saya memohon pinjaman sebesar Rp900,000,000 dan mereka meminta kepercayaan saya, Dan setelah mereka selesai mengesahkan butiran saya, pinjaman itu telah diluluskan untuk saya dan saya fikir ia adalah jenaka, dan mungkin ini adalah salah satu tindakan menipu yang membuat saya kehilangan wang, tetapi saya terkejut. Apabila saya mendapat pinjaman saya kurang dari 6 jam dengan kadar faedah yang rendah 1% tanpa cagaran.
Saya sangat gembira bahawa Tuhan menggunakan kawan saya yang menghubungi mereka dan memperkenalkan saya kepada mereka dan kerana saya diselamatkan daripada membuat perniagaan saya melompat di udara dan dibubarkan dan kini perniagaan saya terbang tinggi di Indonesia dan tiada siapa yang akan mengatakannya Dia tidak tahu mengenai syarikat fesyen.
Jadi saya nasihat semua orang yang tinggal di Indonesia dan negara-negara lain yang memerlukan pinjaman untuk satu tujuan atau lain untuk sila hubungi
ibu christabel melalui e-mel: (christabelloancompany@gmail.com)
Anda juga boleh menghubungi saya di e-mel saya: (lianmeylady@gmail.com) dan Sety memperkenalkan dan bercakap tentang christabel, dia juga mendapat pinjaman baru dari christabel, anda juga boleh menghubunginya melalui e-melnya: permatabudiwati@gmail.com Sekarang, semua Saya akan cuba untuk memenuhi pembayaran pinjaman yang saya hantar terus ke akaun mereka setiap bulan.
Satu perkataan kepada orang bijak sudah cukup
Terima kasih sekali lagi kerana membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita dan memberi kita kehidupan yang panjang dan makmur dan semoga Tuhan melakukan pekerjaan yang baik dalam hidup anda.